“Ngomong-ngomong, sewaktu mengelola website di Kantor Dinasmu, kamu dapat honor berapa sebulan?”
“300 ribu, Mas.”
“Wah, bagus sekali.”
“Kebijakan pimpinan di tempat kami memang begitu, dan memang dianggarkan”
Itu adalah sepenggal obrolan saya dengan seorang pengelola website sebuah Kantor Dinas di Kota Malang tercinta ini. Kami berbincang di kantin Block Office Kantor Terpadu, di belakang Kantor Dispenda, Gedung B, beberapa waktu lalu. Di tempat dinasnya dia juga dipasrahi mengelola website. Tentu saja saya senang mendengar pengakuannya. Sebab, faktanya, tak semua pengelola website di SKPD Kota Malang semujur dia.
Pernah saya mendapat cerita dan cerita ini dapat diverifikasi seorang pengelola website di sebuah sekolahan harus merogoh koceknya sendiri untuk membangun website. Alih-alih menerima honor, dia malah mengongkosi website milik satuan kerjanya. Dia bilang, pimpinannya adalah tipe pejabat yang super cuek terhadap website. Baru ketika website itu mewujud, dan tentu saja turut mengharumkan nama institusi, sang pimpinan merasa terpanggil untuk ikut cawe-cawe.
.
***
Di era keterbukaan informasi, website lembaga publik termasuk instansi Pemerintah Daerah di dalamnya dibikin bukan untuk sekedar gaya-gayaan atau gagah-gagahan. Website sudah menjadi elemen vital untuk menyuplai informasi kepada publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, dan yang terbaru Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 22/PER/M.KOMINFO/12/2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Komunikasi dan Informatika di Kabupaten/Kota.
.
Dengan demikian, pekerjaan mengelola website Pemerintah Daerah harus dipandang sebagai pekerjaan yang penting pula. Beban kerja dan tanggung jawab pengelola website Pemerintah Daerah tidak boleh dipandang sebelah mata.
Merupakan fakta tak terbantahkan, kian hari pekerjaan mengelola website di Instansi Pemerintah Daerah kian tidak ringan. Penilaian terhadap website di lingkungan instansi Pemda yang dilakukan oleh Dewan Juri AIKID baru-baru ini merupakan salah satu indikasinya. Sebelum ini, Perwal Nomor 50 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi Publik mengatur juga tentang Klasifikasi Informasi Publik, dan diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok :
a. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala;
b. informasi yang wajib diumumkan secara serta merta;
c. informasi yang wajib tersedia setiap saat;
d. informasi yang dikecualikan.
Banyak informasi yang sebelumnya tidak wajib dipublikasikan di website kini harus dipublikasikan. Tentu, tuntutan ini kian menguras waktu dan tenaga pengelola website Pemerintah Daerah.
Dengan kondisi demikian, sudah sewajarnya pengelola website Pemerintah Daerah perlu mendapatkan penghargaan yang layak. Dengan kata lain, mereka perlu juga disejahterakan.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sadar betul akan hal itu. Karena itu tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan memasukkan ketentuan khusus mengenai honorarium tim pengelola website dalam Standar Biaya Umum (SBU).
Mari kita baca Peraturan Menteri Keuangan Nomor NOMOR 33 / PMK. 02/2016 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2017. Kita cermati Lampiran I poin 15 tentang Honorarium Tim Pengelola Website. Di situ terinci jenis pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan website dan besarnya honorarium.
Penanggung jawab, menurut Permenkeu itu, berhak mendapat honor Rp 500.000 per bulan. Di bawahnya berturut-turut adalah Redaktur (Rp 450.000/bulan), Editor (Rp 400.000/bulan), Web Admin (Rp 350.000/bulan) dan Web Developer (Rp 300.000/bulan).
Selain itu, ada juga Pembuat Artikel dan Penerjemah. Berdasarkan Permenkeu itu, Pembuat Artikel berhak mendapat honorarium Rp 100.000 per halaman. Sementara itu, Penerjemah berhak mengantongi Rp 90.000 tiap menerjemahkan teks 1500 karakter.
Dalam penjelasan Permenkeu itu disebutkan, honorarium tim pengelola website diberikan kepada pegawai negeri yang diberi tugas untuk mengelola website, berdasarkan surat pejabat yang berwenang. Nah, sekarang timbul beberapa pertanyaan: Bagaimana kalau pengelola website itu tidak berstatus PNS? Bagaimana bila pejabat yang berwenang tidak pernah mengeluarkan SK tentang Tim Pengelola Website??
Daftar pertanyaan itu bisa kita perpanjang, misalnya: Bagaimana jika di DPA tidak ada anggaran khusus untuk pengelolaan website, misal unit kerja seperti bagian di SETDA? Bagaimana dengan honorarium pengelola SIM Keuangan dan SIMPEG atau Tim IT pada umumnya?
Sebelum merakit jawaban atas pelbagai pertanyaan tadi, mari kita cermati kembali hasil pengamatan Analisis Jabatan dan Peta Jabatan di masing-masing SKPD Pemerintah Kota Malang, paling banyak Jabatan staf IT di beberapa SKPD diserahkan pada tenaga outsourcing atau pihak ketiga sebaga pengelolanya.
Khusus di lingkungan pemerintah Kota Malang, meski saya bisa tidak bisa merinci dalam hasil Anjab dan ABK itu, saya yakin prosentase staf IT yang berstatus outsourcing lebih tinggi. Artinya, jerih payah mereka sangat menentukan jalan atau tidaknya implementasi teknologi informasi di Dinas/Badan/Kantor dan Bagian di Setda/UPT.
Berikutnya, perlu kita pahami bahwa pada umumnya pengelolaan teknologi informasi di lingkungan Pemerintah Kota Malang ditangani oleh orang-orang yang sama. Mereka yang berstatus staf IT biasanya tak hanya mengelola website, tapi juga SIRUP, Pengadaan online LPSE, bahkan mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan hardware, software, jaringan dan sebagainya.
Dengan demikian dapat kita simpulkan, di lingkungan Pemerintah Kota Malang, pengelolaan website hanya satu aspek saja dari sekian banyak aspek yang ditangani oleh mereka yang biasa kita kenal sebagai Tim IT.